Kenapa kita sering kali melawan apa yang di bilang sama ibu
kita dan kita sering sekali menolak apa yang ibu suruh sama kita. Kalau ibu
menyuruh kita pasti kita sering kali mengucapkan kata ah… ibu memangil kita
pasti kita sering pura-pura tidak mendengar. Jadi dari sekarang sayangilah ibu
kamu seperti kamu menyayangi diri kamu sendiri.
Berikut
ini kajian singkat tentang hadits pembahasan. Semoga Allah menjadikannya
bermanfaat bagi kita semua.
TEks
Hadits: “Surga di bawah telapak kaki ibu.
”
MAUDHU’. Diriwayatkan oleh Abu Bakar asy Syafi’i dalam ar-Ruba’iyyat 2/25/1,
Abu Syaikh dalam al-Fawaid no. 357 dalam at-Tarikh hlm. 253, atsTsa’labi dalam
Tafsirnya 3/53/1, alQudha’i dalam Musnad Syihab 2/2/1, adDulabi dalam al-
Kuna 2/138 dari Manshur bin Muhajir dari Abu Nadhr al Abbar dari Anas secara
marfu’.
Sanad
ini parah, karena Manshur dan Abu Nadhr tidak dikenal sebagaimana kata Ibnu
Thahir, seperti dinukil oleh al Munawi dalam Faidhul Qadir seraya mengatakan,
“Hadits ini mungkar.”
Hadits
ini memiliki jalur lain, diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 1/325 dan al
Uqaili dalam adh-Dhu’afa' dari Musa bin Muhammad bin Atha': Menceritakan kepada
kami Abu Malih: Menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu Abbas d secara
marfu’ (sampai kepada Nabi).
Sanad
ini adalah maudhu’, sebab Musa bin Atha' adalah seorang pendusta. AlUqaili ber
kata, “Hadits ini mungkar.”
Pnngganti yang shahih
Sebagai
ganti hadits ini adalah hadits Mu’awiyah bin Jahimah, bahwasanya beliau datang
kepada Rasulullah seraya berkata:
“Wahai
Rasulullah, aku hendak berperang, kini aku datang untuk meminta pendapat
engkau.” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau mempunyai ibu?” Jawabnya,
“Ya.” Lalu Rasulullah bersabda, “Berbuat baiklah kepadanya. Sesungguhnya
surga itu berada di bawah kedua kakinya.”
Diriwayatkan
Nasa’i (2/54) dan athThabarani (2/225), dan sanadnya?hasan—insya Allah. Al
Hakim menshahihkannya (4/151) dan disetujui oleh adzDzahabi dan alMundziri
(3/214).
Faedah:
Maksud “Surga di bawah telapak kaki ibu” adalah bahwa tawadhu’ (rendah hati)
kepada seorang ibu merupakan sebab masuknya seorang ke surga. Demikian
dikatakan oleh azZarkasyi dan asSakhawi.
Yang Penting Maknanya Benar
Kebenaran makna dan isi suatu ungkapan tidak serta-merta
menjadi alasan bolehnya menisbahkan ungkapan tersebut kepada Nabi. Sebab, tidak
boleh menisbahkan ungkapan kepada Rasulullah kecuali yang benar-benar
beliau sabdakan. AlHafizh Abul Hajjaj alMizzi berkata, “Tidak boleh
seorang pun menisbahkan ungkapan yang dianggapnya baik ke pada
Rasulullah sekalipun maknanya benar, karena semua yang dikatakan oleh
Rasulullah adalah benar, tetapi tidak semua yang benar itu mesti
dikatakan oleh Rasulullah .”
Syaikh alAlbani juga menilai bahwa termasuk kebodohan
anggapan bahwa suatu hadits apabila benar maknanya berarti Rasul pasti
mengucapkannya. Beliau berkata, “Sungguh ini adalah kejahilan yang amat
parah, karena betapa banyak hadits-hadits yang dilemahkan oleh para ulama
ahli hadits padahal maknanya shahih. Terlalu banyak kalau saya harus
menampilkan contoh-contohnya, cukuplah apa yang terdapat dalam kitab karyaku
ini. Seandainya penshahihan hadits dibuka karena melihat maknanya yang shahih
tanpa melihat kepada sanadnya, niscaya berapa banyak kebatilan akan masuk
kepada syari’at dan betapa banyak manusia yang akan menyandarkan kepada Nabi
ucapan yang tidak beliau katakan, dengan alasan tersebut, kemudian mereka
mengambil tempat duduknya di neraka.”
Pupuler Bukan Jaminan
Bila ada yang mengatakan: Namun, hadits ini 'kan sudah
masyhur dan populer sekali di masyarakat, apakah hal itu tidak cukup menunjukkan
bahwa dia adalah hadits shahih?! Kami katakan: Suatu hadits yang masyhur
(populer) dan laris-manis di kalangan masyarakat sama sekali bukanlah jaminan
bahwa hadits tersebut shahih. Berapa banyak hadits yang masyhur di masyarakat,
tetapi para ulama ahli hadits menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu, bahkan
tidak ada asalnya.
Al
Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits masyhur bisa juga diartikan dengan
suatu hadits yang banyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini
mencakup hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak
memiliki sanad sama sekali.”
Syaikhul
Islam berkata, “Seandainya sebagian masyarakat umum yang mendengar hadits dari
tukang cerita dan aktivis dakwah, atau dia membaca hadits, yang baginya adalah
populer, maka hal itu sama sekali bukanlah menjadi patokan. Betapa banyak
hadits-hadits yang populer di masyarakat umum, bahkan di kalangan para ahli
fiqih, kaum sufi, ahli filsafat, dan sebagainya, lalu menurut pandangan ahli
hadits ternyata hadits tersebut adalah tidak ada asalnya, dan mereka menegaskan
hadits terse but palsu.”
Ibu, Alangkah Besarnya Jasamu!!
Sesungguhnya
kedudukan berbuat baik ke pada orang tua dalam Islam sangatlah tinggi dan
agung. Betapa banyak Allah mengiringkan antara hakNya dan hak orang
tua, seperti firman Allah :
ِDan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara ke duanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. alIsrâ'
[17]: 23–24)
Berbuat
baik kepada ibu bapak sama-sama ditekankan dalam Islam, namun yang lebih
ditekankan lagi ialah berbuat baik kepada ibu karena besarnya jasa dan
pengorbanan seorang ibu daripada ayah.
Allah
berfirman:
َٰ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman
[31]: 14)
Dalam
ayat ini Allah menyebutkan tiga jasa ibu: tugas sebagai ibu, mengandung,
dan me nyapih.
Ayat
ini diperkuat oleh hadits berikut:
Dari
Abu Hurairah berkata, “Datang seorang lelaki kepada Rasulullah
seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku
berbuat baik kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Lalu
siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Siapa lagi?’
Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau
menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari: 5971 dan Muslim: 2548)
Dalam
hadits ini, Nabi menyebut ibu sebanyak tiga kali, menunjukkan bahwa ibu
adalah wanita yang paling berjasa bagi anak. Maka semestinya seorang anak untuk
berbuat baik kepadanya lebih dari yang lainnya. Namun sangat disayangkan
sekali, pada zaman kita sekarang banyak sekali anak-anak yang tidak berbakti
kepada ibunya. Lantas, seperti inikah balasan orang yang telah
berjasa besar kepadamu?!
Saudaraku, seorang ibu adalah wanita
yang sangat mulia dan pahlawan bagi anak, dia telah melakukan pengorbanan yang
luar biasa dan berjasa dengan jasa yang tidak bisa dibayar dengan harta, dialah
yang mengandung be berapa bulan lamanya dengan penuh kesulitan dan
penderitaan, dialah yang melahirkan de ngan taruhan nyawa, dialah yang
menyusui, merawat, mendidik, mengasihi hingga tumbuh dewasa. Ingatlah bahwa
kebaikan apa pun yang telah engkau berikan kepada ibu, maka itu belum sesuai
dengan jasa mereka sedikit pun.
Dikisahkan bahwa ada seorang berkata
kepada sahabat Abdullah bin Umar, “Saya telah menggendong ibuku di atas punggungku
dari Khurasan sampai selesai menunaikan ibadah manasik haji, apakah saya telah
membalas budi ibu saya?!” Ibnu Umar, “Tidak seimbang sama sekali meskipun
(hanya) dengan sekali penderitaannya saat melahirkan.” Akhirnya, kita berdo’a
kepada Allah agar menjadikan kita semua anak-anak yang berbakti kepada
orang tua kita, khususnya kepada ibu kita, baik ketika mereka masih hidup di dunia
atau sudah meninggal dunia Amin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar